Rabu, 22 Januari 2014

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Ada yang tahu apa itu BPHTB??
Pada postingan blog saya kali ini akan menjelaskan apa itu BPHTB sekaligus untuk memenuhi tugas kelompok pada kursus Brevet A yang sedang saya ikuti di minggu ini di kampus Gunadarma. berikut nama anggota kelompok 4 :
Linda Susilowati 24210037
Prisila C. 25210396
Muhammad Iqbal 24210743
Rr. Siti Pangestika H. 29210586
Nur Asmilia 25210121
Putri Nadiya 29210699

Yang pertama harus diketahui dahulu, apa pengertian dari BPHTB itu sendiri?
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan.
Mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB diatur dalam UU No. 21 Tahun 1997 dan telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000.

Objek Pajak
Yang menjadi objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, meliputi :
  • Pemindahan hak karena :
    1. jual beli;
    2. tukar-menukar;
    3. hibah;
    4. hibah waris;
    5. waris;
    6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
    7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
    8. penunjukan pembeli dalam lelang;
    9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
    10. penggabungan usaha;
    11. peleburan usaha;
    12. pemekaran usaha;
    13. hadiah;
  • Pemberian hak baru karena :
    1. pelanjutan pelepasan hak;
    2. diluar pelepasan hak
 Objek Pajak yang Tidak Dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh :
  1. perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbale balik;
  2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaanpembangunan guna kepentingan umum;
  3. badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau menjalankan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi;
  4. orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
  5. orang pribadi atau badan karena wakaf;
  6. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. 

Subjek BPHTB
Yang menjadi subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.
Tarif BPHTB
Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5 % (lima persen). Secara matematis adalah;
 BPHTB = 5% x (NJOP-NPOPTKP)

NPOP Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
Ditetapkan secara regional  paling banyak Rp. 60.000.000,00 kecuali dalam hak perolehan karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajad ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan paling banyak Rp. 300.000.000,-

Dasar Pengenaan BPHTB
  1. pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah Wasiat BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang.
  2. pengenaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan. Besarnya BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut:
  • 0% (nol persen) dan BPHTB yang seharusnya terutang terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/kota, Lembaga Pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas);
  • 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud diatas.
 Tata Cara Peyetoran dan Pelaporan
1.BPHTB yang terutang harus dibayar/dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak, yaitu sama dengan saat terutangnya BPHTB.
2.Wajib pajak wajib membayar BPHTB yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment.
3.BPHTB yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan/atau Bank BUMN atau Bank BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh MenKeu dengan menggunakan Surat Setoran BPHTB.
4.Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah BPHTB yang terutang kurang dibayar.
5.Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kuramg Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula Belem terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah BPHTB yang teritang diterbitkannya SKBKBT.
6.Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan BPHTB dan WP dikenakan sanksi berupa denda dan/atau bunga apabila:
   a.BPHTB yang terutang tidak atau kurang bayar
   b.dari hasil pemeriksaan Surat Setoran BPHTB terdapat kekurangan pembayaran BPHTB sebagai akibat salah tulis atau salah hitung.
   
Pada saat WP memperoleh Surat Tagihan BPHTB jumlah yang harus dibayar oleh WP adalah sebesar BPHTB terutang yang tidak atau kurang bayar dalam Surat Tagihan BPHTB ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebukan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan Sejas saat terutangnya BPHTB.

Tata Cara Perhitungan
BPHTB = Tarif pajak x NPOPKP
              = 5 % x ( NPOP – NPOPTKP )

Perhitungan di atas dapat dibuat dengan urutan sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)                                               xxx
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)        xxx (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)                     xxx
BPHTB yang terutang/dibayar:
( 5 % x NPOPKP )                                                                             xxx

Jika perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut karena waris/hibah wasiat/pemberian hak pengelolaan, maka BPTHB yang harus dibayar adalah :
 BPHTB = 50 % x BPHTB yang terutang

Contoh :
Tuan Akbar membeli tanah dan bangunan dengan nilai perolehan objek pajak Rp 500.000.000. Besarnya BPHTB yang terutang dihitung sebagai berikut :
NPOP                                                              Rp 500.000.000
NPOPTKP                                                      Rp   60.000.000 (-)
NPOPKP                                                        Rp 440.000.000
                                                                        ============
Pajak BPHTB yang terutang 
5% x Rp 440.000.000 = Rp 22.000.000 

Seorang isteri/anak yang memperoleh warisan dari suami/ayahnya atas sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp.500.000.000,-. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak sebesar Rp.900.000.000,. Apabila di Kabupaten/kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal waris sebesar Rp.300.000.000,-

maka besarnya BPHTB atas tanah dan bangunan tersebut
adalah:
NPOP                                                              Rp 900.000.000
NPOPTKP                                                      Rp 300.000.000 (-)
NPOPKP                                                        Rp 600.000.000
                                                                        ============
Pajak BPHTB yang seharusnya terutang :
5% x Rp 600.000.000 = Rp 30.000.000
  
BPHTB Terhutang = 50% x Rp 30.000.000 = Rp 15.000.000

Jadi, Pajak BPHTB yang dibebankan kepada ahli waris tersebut adalah sebesar Rp 15.000.000


Kamis, 16 Januari 2014

OPINI PELANGGARAN HUKUM YANG DISEBABKAN OLEH PELANGGARAN ETIKA


Menurut J.T.C. Sumorangkir, S.H. dan Woerjo Sastropranoto, S.H. hukum merupakan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman. Tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat, diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi dalam mencapai tujuannya, hukum berfungsi membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahakan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. Fungsi hukum dalam kehidupan manusia terus berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat dimana hukum tersebut berada. Namun, secara garis besar fungsi hukum dapat dilihat sebagai sarana pengendalian sosial yaitu fungsi hukum yang menjalankan tugas untuk mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada.
Pelanggaran kerap terjadi karena sebagian besar masyarakat taat karena takut aparat dan takut pada sanksi dari pelanggaran tersebut, padahal yang patut diketahui adalah bagaimana kita bisa menanamkan sikap dan berkomitmen terhadap diri pribadi bahwa pelanggaran itu memang tidaklah benar.  Ada yang melihat ataupun tidak dilihat oleh aparat, ada sanksi ataupun tidak ada pemberlakuan sanksi. Ketaatan pada hukum bukan karena takut tapi karena kesadaran bahwa pelanggaran itu memang tidak baik.
Saat ini banyak sekali pelanggaran-pelanggaran hukum baik ringan ataupun berat yang dilakukan oleh masyarakat. Para pelanggar hukum disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor-faktor di dalam diri pelaku para pelanggar hukum seperti sifat, etika serta psikologis dalam diri. Sedangkan, faktor eksternal merupakan faktor-fakor diluar diri pelaku seperti faktor lingkungan yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindak pelanggaran hukum.
Pelanggaran hukum dapat disebabkan oleh pelanggaran etika. Menurut Drs. O.P. Simorangkir etika merupakan pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. Menurut Drs. Sidi Gajalba etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. Berdasarkan definisi tersebut bisa dikatakan jika etika merupakan pandangan tingkah laku manusia dalam berprilaku berdasarkan ukuran yang baik dan buruk yang ditentukan oleh akal manusia.
Salah satu contoh kasus Ketua MK Akil Mochtar yang diberhentikan secara tidak hormat karena terbukti melanggar kode etik hakim. Pelanggaran yang dilakukan oleh Akil tak hanya satu, namun bertumpuk.
Pertama dalam daftar dosa Akil adalah terkait penanganan sengketa pilkada. Akil diduga bersalah dalam penyelesaian sengketa Pilkada Banyuasin di Sumatera Selatan dan sejumlah perselisihan pilkada di daerah lain. Berdasarkan saksi, Akil Mochtar memerintahkan panitera MK menetapkan putusan tanpa melalui rapat permusyawaratan hakim. Harjono menyatakan, Akil Mochtar diduga menggunakan kewenangannya sebagai hakim untuk membagi perkara antara panelnya dengan panel lain.
Kedua, terkait rekening dan transaksi tak wajar yang dimiliki Akil. Akil memiliki 15 rekening bank, sedangkan istrinya punya 5 rekening. Akil juga memerintahkan sekretaris dan sopirnya melakukan transaksi tidak wajar dengan jumlah tidak wajar.
Ketiga, terkait narkotika yang dimiliki Akil. Akil Mochtar diduga menyimpan narkotika, yakni tiga lintung ganja utuh dan satu bekas pakai, dua pil inex ungu dan hijau.
Keempat, terkait hobi Akil pelesir ke luar negeri. Berdasarkan keterangan saksi, Akil Mochtar sering pergi ke luar negeri dengan keluarga ajudan dan sopir tanpa pemberitahuan pada Sekjen MK, termasuk ketika ke Singapura pada 21 September 2012. Perilaku Akil Mochtar yang pergi ke Singapura dan beberapa negara lain tanpa memberitahu MK melanggar etika. Seharusnya dia memberitahu Sekjen. Apalagi sebagai Ketua MK, dia harus diketahui keberadaannya.
Kelima, terkait kepemilikan mobil-mobil mewah Akil. Berdasarkan surat keterangan Ditlantas Polda Metro Jaya, Toyota Crown tidak didaftarkan ke Ditlantas. Ada kesan mobil itu dimiliki secara tidak sah. Perilaku Akil yang tidak mendaftarkan mobilnya dinilai sebagai perilaku tidak jujur. Belum lagi Akil mendadak punya tiga mobil dalam tiga bulan. Berdasarkan surat Ditlantas, mobil Mercedes diatas namakan sopir Akil Mochtar, sehingga perbuatannya diduga menyamarkan kekayaan. Atas semua kesalahan itu, Akil terbukti melanggar prinsip kepantasan, kesopanan, integritas, dan independensi.
Menurut pandangan penulis, pelanggaran hukum yang dilakukan tersebut diawali dari pelanggaran etika yang melanggar aturan-aturan kode etik profesi sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga penegak hukum, seharusnya menegakkan dan menjalankan etika profesi dengan benar dan bijaksana sehingga masyarakat akan percaya dan yakin bahwa hukum akan ditegakkan secara adil. Ketika terjadi pelanggaran hukum dalam tubuh Mahkamah Konstitusi maka citra Mahkamah Konstitusi tercoreng dan masyarakat akan memandang buruk pada lembaga tersebut lalu kepada siapa lagi masyarakat harus percaya untuk menegakkan hukum di Indonesia? Kesadaran para petinggi negara akan pentingnya penegakan hukum sangat dibutuhkan sebagai contoh dan bukti kepada masyarakat bahwa hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, agar masyarakat taat terhadap hukum yang ditetapkan pemerintah.  Bagaimana dapat menciptakan masyarakat yang taat hukum sedangkan pemerintah sendiri yang membuat peraturan-peraturan tersebut saja melanggarnya!!



http://nasional.news.viva.co.id