Kisah pewayangan bagi para kaula muda mungkin kini hampir terlupakan, bahkan sebagaian besar para penerus bangsa sudah jarang sekali melihat dan menyaksikan pertunjukan wayang yang sudah jarang di adakan kecuali pada acara-acara besar dan peminatnya pun para orang tua. Di blog ini ada sedikit cerita tentang perjalanan hidup seorang tokoh wayang yang bernama Batara Surya.
Batara Surya adalah seorang Dewa matahari yang menjadi tumpuan mahluk hidup di alam dunia ini terutama tumbuhan dan hewan, Batara Surya terkenal sangat sakti mandraguna dan menjadi salah satu Dewa andalan di khayangan Ekacakra. Batara Surya terkenal senang memberikan pusaka-pusaka atau ajian-ajian yang dimilikinya terhadap orang-orang yang dipilihnya.
Dewa ini terkenal mempunyai banyak anak dari berbagai wanita (diantaranya dari Dewi Kunti yang melahirkan Adipati karna dalam kisah Mahabharata). Dalam Mahabrata, Kunti menerima sebuah mantra dari seorang bijak, Durwasa; jika diucapkan, ia akan dapat memanggil setiap dewa dan melahirkan anak oleh dia.
Percaya dengan kekuatan mantra ini, tanpa disadari Kunti telah memanggil Surya, tetapi ketika Surya muncul, ia akan takut dan permintaan dia untuk kembali. Namun, Surya memiliki kewajiban untuk memenuhi mantra sebelum kembali. Batara surya mengakui apa yg dilaktkannya dan mau menangung perbuatannya, karna sudah saatnya melahirkan maka batara surya mengeluarkan sang jabang bayi. Batara Surya secara ajaib membuat Dewi Kunti untuk melahirkan anak nya, tiba tiba perut kunti mengempes keajaiban terjadi dari telinga kunti keluar asap serta cahaya gemilang gemilang cahaya 4 warna merah, hitam, putih dan kuning warna menyatu lalu berubah jadi bayi laki laki. Bayi itu diberi nama KARNA yang berarti Telinga, nama lainnya SURYA PUTRA.
Karena Kuntipun tak mau kalau ia tak ingin menanggung aib yg tak ingin diketahui oleh siapapun kalau ia telah melahirkan anak maka dengan terpaksa bayi dimasukan dlm keranjang dan dihanyutkan ke sungai Gangga yg dimana sungai bermuara ke Astina,ia baru sadar setelah karna hanyut dan menangis karena bayi kaget oleh riak air yg membangunkan dari tidurnya, kunti menyesal dan hanya bisa menangis. Untuk mempertahankan keperawanannya sebagai putri yang belum menikah, tidak perlu merasa malu jika menjadi sasaran pertanyaan dari masyarakat. Kunti merasa dipaksa untuk meninggalkan anak, Karna, yang tumbuh menjadi salah satu karakter sentral dalam perperangan besar dari Khurusetra.
Batara Surya juga memiliki tiga ratu Saranyu (juga disebut Saraniya, Saranya, Sanjna, atau Sangya), Ragyi, dan Praba. Saranyu adalah ibu dari Waiwaswata Manu (Manu ketujuh, yang sekarang), dan si kembar Yama (dewa kematian) dan adiknya Yami. Dia juga melahirkan baginya si kembar dikenal sebagai Aswin, dokter para Dewa. Saranyu, karena tidak sanggup menyaksikan cahaya terang dari Surya, menciptakan tiruan dirinya yang bernama Chhaya dan memerintahkan dia untuk bertindak sebagai istri Surya selama dia tidak ada. Chhaya memiliki dua putra dari Surya- Sawarni Manu (Manu kedelapan, yang berikutnya) dan Sani (dewa planet Saturnus), dan dua anak perempuan- Tapti dan Vishti. Dewa Surya juga memiliki seorang putra, Rewanta, atau Raiwata, dari Ragyi.
Menariknya, dua putra Surya, Sani dan Yama bertanggung jawab untuk mengadili kehidupan manusia. Sani memberi hasil dari perbuatan seseorang melalui kehidupan seseorang melalui hukuman dan penghargaan yang sesuai, sementara Yama memberi hasil dari perbuatan seseorang setelah kematian. Dalam Ramayana, Surya disebutkan sebagai ayah dari Raja Sugriwa, yang membantu Rama dan Laksmana dalam mengalahkan raja Rahwana. Ia juga melatih Hanoman sebagai gurunya.
Batara Surya yang bertempat tinggal di Kahyangan Ekacakra menerima dua bidadari kakak beradik sebagai istrinya yang bernama Dewi Ngruna dan Dewi Ngnini. Sementara putri Batara Wisnu yang bernama Dewi Kastapi dalam perkimpoiannya dengan burung Brihawan membuahkan dua telur. Kemudian atas perintah Batara Guru, dua telur itu diberikan kepada Dewi Ngruna dan Ngruni. Telur milik Dewi Ngruna setelah dierami oleh seekor ular, menetas menjadi dua ekor burung yang diberi nama Sempati dan yang muda diberi nama Jatayu. Sedangkan telur milik Dewi Ngruni menetas seekor ular besar yang diberi nama Naga Gombang, dan yang kecil diberi nama Sawer Wisa.
Anak-anak yang berupa burung dan ular itu ternyata sangat sulit untuk di awasi. Mereka semua I nakal. Kedua bidadari itu lalu mengadakan teka-teki, barangsiapa yang kalah akan menjaga anak-anak itu. Dewi Ngruni memberikan pertanyaan : “Apakah yang terlihat di sana itu? Sapi jantan atau sapi betina?”. Ternyata Dewi Ngruni tidak dapat menebaknya, dan ia merasa malu karena kebodohannya. Ketika itu juga ular-ular datang dan membela ibunya dan segera menggigit kedua burung, dan sebaliknya burung-burung itu mematuk ular-ular sampai mati. Karena marah oleh peristiwa itu, Dewi Ngruna mengutuk Ngruni. Katanya: “Dinda Ngruni bertindak seperti raseksi (raksasa wanita), jika akan menolong anak-anaknya”.
Seketika itu juga Dewi Ngruni berubah ujudnya menjadi raseksi, dan setelah ia sadar apa yang terjadi ia segera lari menemui Batara Surya agar dapat mengatasi masalah yang dihadapinya itu. Atas saran suaminya, Dewi Ngruni diminta menemui Batara Wisnu yang merupakan kakeknya dari telur-telur tadi, agar dapat meruwatnya.
Setelah peristiwa itu Sempati yang disertai burung Jatayu pergi bertapa ke Gunung Windu, sedangkan ular-ular sangat terkejut melihat ibunya menjadi raseksi, mereka melarikan diri terjun ke samudera.
Sementara itu di kahyangan kehidupan para dewa tidak tentram karena menerima ancaman Prabu Sengkan Turunan dari Kerajaan Parangsari yang menginginkan Dewi Ngruna dan Ngruni untuk dijadikan permaisuri. Prabu Sengkan Turunan dengan balatentara raksasa menyerang Kahyangan Suralaya. Para dewa tidak dapat menandingi kesaktian para raksasa itu. Batara Wisnu menyatakan kepada Dewi Ngruni bahwa ia akan meruwatnya sehingga kembali pada ujud semula tetapi Dewi Ngruni harus menculik putri Prabu Sengkan Turunan yang bernama Retna Jatawati.
Dibantu oleh garuda Jatayu, Dewi Ngruni akhirnya berhasil membawa Dewi Jatawati. Sementara itu Jatayu juga berhasil menghancurkan para tentara raksasa. Prabu Sengkan Turunan sangat marah setelah mengetahui bahwa pasukannya hancur, segera menyerang Suralaya dengan membabi buta. Pertempuran seru terjadi dengan dahsyatnya tetapi kemudian akhirnya ia dapat dikalahkan oleh burung Jatayu. Batara Wisnu sangat gembira atas kemenangan Jatayu itu. Sebagai pernyataan terima kasih, Batara Wisnu kemudian menganugerahkan Retna Jatawati sebagi istri Jetayu.
Sesuai dengan janjinya, Ngruni dirubah ujudnya menjadi bidadari yang cantik seperti semula dan tetap tinggal di Nguntarasegara. Setelah melihat istrinya menjadi bidadari. Batara Surya membujuk untuk kembali ke pangkuannya, tetapi Dewi Ngruni menolak. Baru setelah ada perintah dari Batara Guru, yang menjadi pemuka para dewa, akhirnya Ngruni bersedia menjadi istri Batara Surya kembali.
Batara Surya kena batunya ketika Anoman menyalahkan Batara Surya atas kejadian yang menimpa Ibunya Dewi Anjani dan neneknya yang dikutuk menjadi tugu oleh suaminya sendiri. Anoman merasa Batara Surya harus bertanggung jawab sehingga Anoman dengan ajiannya mengumpulkan awan dari seluruh dunia untuk menutupi alam dunia sehingga sinar sang surya tidak bisa mencapai bumi. Untungnya kejadian ini dapat diselesaikan secara baik-baik sehingga Anoman dengan sukarela menyingkirkan kembali awan-awannya sehingga alam dunia terkena sinar mentari kembali.