Rabu, 23 Maret 2011

Investasi Terhadap Perekonomian Indonesia

Prospek Investasi dan Perbankan dalam Perekonomian Indonesia





Dalam seminar sehari di LPPI, pembicara kedua adalah bapak C. Harinowo, yang saat ini menjabat sebagai komisaris PT Unilever Indonesia. Beliau menjelaskan bahwa pabrik Unilever di Indonesia sekarang menjadi benchmark untuk pabrik Unilever di seluruh dunia. Mengapa? Pabrik Unilever yang baru dibangun pada tahun 2008 (?) untuk “skin care products” dan direncanakan jika berhasil, pabrik baru akan dibangun pada tahun 2014, ternyata saat ini kapasitas produksi (sebesar 60.000 ton) telah mencapai 90 persen. Pertumbuhan penjualan Unilever di Indonesia sebesar 22 persen, sedang pertumbuhan Unilever secara global hanya 8 persen. Namun demikian, dari perusahaan emiten yang menghasilkan penjualan terbesar di Indonesia (ada 33 emiten), ternyata Unilever tak termasuk. Berarti banyak perusahaan lain yang memperoleh peningkatan penjualan lebih tinggi dibanding Unilever.
Oleh karena kapasitas produksi yang nyaris sampai pada kapasitas terpasang itu, diputuskan Unilever di Indonesia pada tahun 2010 akan melakukan investasi pembangunan pabrik baru untuk “skin care products” (dan juga capex lainnya). Dari mana sumber dana untuk investasi tersebut diperlukan? Ternyata tidak dibiayai oleh Bank, tetapi dari internal cash flow. Perkembangan internal cash flow yang kuat dan menggembirakan ini tak hanya dialami oleh Unilever, namun juga oleh perusahaan lainnya, seperti: 1) Kalbe Farma membangun pabrik susu di Cikarang senilai Rp.0,5 triliun yang juga dibiayai dari internal cash flow. 2) Konimex membangun rumah sakit di Solo Baru dan Boyolali juga menggunakan dana sendiri. 3) Sanbe Farma membangun 3 (tiga) proyek senilai Rp. 1 triliun juga dengan dana sendiri.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa beberapa perusahaan di Indonesia mempunyai kemampuan sangat bagus, sehingga tak perlu modal dari luar. Kebutuhan investasi di Indonesia sangat besar karena di driven to growth, yang antara lain oleh: a) Jumlah penduduk yang sangat besar serta kemampuan yang meningkat, b) Sumber Daya Alam yang dimiliki. Dari penelitian, terlihat ada kenaikan pada distribusi income kelas menengah di Indonesia. Jika kenaikan kelas menengah ini mencapai 30 juta orang, maka sebetulnya sudah melebihi seluruh penduduk Malaysia yang diperkirakan saat ini mencapai 26.6 juta orang. Ini merupakan potensi yang besar sekali, dan mendorong untuk peningkatan investasi guna memenuhi kebutuhan peningkatan daya beli ini.
Kebutuhan investasi dalam pertumbuhan ekonomi
Pemerintah menyatakan, untuk menumbuhkan perekonomian sebesar 7 persen ke depan, dibutuhkan investasi sekitar Rp.2.000 trilyun per tahun. Investasi tersebut dipenuhi oleh investasi PMA, investasi dunia usaha domestik, investasi perorangan (rumah dsb nya) dan juga investasi oleh pemerintah. Sumber pembiayaan investasi berasal dari Perbankan, Pasar Modal, Sumber Luar Negeri, APBN dan APBD, serta sebagian besar lainnya dari dana sendiri.
Perkembangan pinjaman oleh Perbankan selama beberapa tahun terakhir mencapai nilai nominal yang meningkat. Jika tahun 2007 kenaikan nominal Rp.210 trilyun, tahun 2008 kenaikan sekitar Rp.300 trilyun, namun sampai dengan September 2009 pinjaman baru tumbuh Rp. 64 trilyun. Dalam beberapa tahun terakhir, secara keseluruhan, total asset Perbankan tumbuh sekitar 15-17 persen per tahun, pertumbuhan yang sama juga dicapai oleh DPK (Dana Pihak ketiga).
Bagaimana prediksi ke depan?


Kebutuhan pembiayaan untuk investasi ke depan akan terus meningkat. Seberapa mampukah perbankan Indonesia dalam melakukan peran tersebut di tahun-tahun mendatang? Seberapa besarkah potensi Indonesia untuk bermain dalam peta Perbankan global di tahun-tahun mendatang?
Berbeda dengan perekonomian makro, Perbankan Indonesia belum masuk dalam peta Perbankan global. Untuk kelas ASEAN saja, masuk Perbankan global masih tertinggal jauh dibelakang. Pada tahun 2006, dari sepuluh Perbankan ASEAN dari sisi aset nya, hanya Bank Mandiri yang masuk kategori tersebut.
Meskipun relatif tertinggal dalam hal pengumpulan aset, Perbankan Indonesia mampu untuk mencapai tingkat profitabilitas yang lebih tinggi. Dalam tahun 2008 dan 2009 ini, tingkat keuntungan Perbankan di Indonesia jauh lebih tinggi dari Singapura, Malaysia dan Muangthai. Maybank, misalnya, memiliki aset sebesar RM 269,1 milyar sementara laba bersih hanya sekitar RM 2,9 milyar dengan ROA sebesar 1,1 persen. CIMB (induknya Bank Niaga) memiliki aset sebesar RM 206,7 miliar sementara laba bersihnya RM 1,95 miliar dengan ROA sebesar 0,94 persen. Di Indonesia, Bank BRI dengan total aset sebesar Rp.246 trilyun memperoleh laba bersih sebesar Rp.5,96 trilyun dengan ROA sebesar 4,18 persen. Sementara Bank BCA memperoleh aset sebesar Rp.245 trilyun dengan laba bersih Rp.5,76 trilyun dan ROA sebesar 3,4 persen di tahun 2008.
Pada tahun 2010 Perbankan di Indonesia mempunyai prospek bagus untuk berkembang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi mencapai 5,5 persen sementara pertumbuhan nominalnya akan mencapai di atas 10 persen. Dengan tingkat Asset to GDB ratio yang diperkirakan meningkat, maka prospek peningkaan Dana Pihak Ketiga (Giro, Tabungan, Deposito) juga akan relatif tinggi. Perkembangan luar Jawa lebih cepat dibanding di Jawa. Perkembangan ini memungkinkan tercapainya perkembangan pembiayaan yang lebih tinggi.
Dari hasil ulasan di atas, terlihat bahwa Indonesia mempunyai prospek yang baik untuk meningkatkan investasi. Peningkatan investasi ini diharapkan dapat menumbuh kembangkan industri, yang akhir-akhir ini ditengarai telah terjadi deindustrialisasi sejak terjadi krisis tahun 1998. Peningkatan investasi tentunya dapat menyerap tenaga kerja, dan iklim investasi ini dipicu oleh adanya peningkatan kelas menengah yang mempunyai daya beli cukup besar di Indonesia. Masalahnya adalah bagaimana mengatasi agar jenjang antara kelas menengah ke atas dan masyarakat miskin ini berkurang.

kre4tif.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar