Senin, 18 Juni 2012

Sejauh manakah UU Perlindungan Konsumen ditegakkan ??



Hingga saat ini, masyarakat Indonesia ternyata masih banyak yang belum memahami mengenai Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen. Hal itu disebabkan dari kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah dalam menegakkan UU perlindungan konsumen dan juga keterbatasan masyarakat untuk mengetahui adanya UU tersebut. Karena banyak masyarakat yang tidak tahu dan kurang peduli akan UU Perlindungan Konsumen ini akibatnya banyak masyarakat terutama pelajar yang telah menjadi korban dalam kecurangan para pelaku usaha akan penggunaan produknya.
Salah satu kasusnya saja, masyarakat yang keracunan makanan dan minuman yang diproduksi salah satu pelaku usaha. Itupun sudah banyak terjadi, tetapi selalu saja hasilnya tidak ditemukan unsur yang berbahaya dan ini salah satu pelanggaran UU Perlindungan Konsumen yang tidak diketahui oleh masyarakat pada umumnya.
Persoalan perlindungan konsumen juga tidak dapat dilepaskan dari isu ekonomi pasar (bebas) yang terjadi selama ini. Liberalisasi perdagangan jelas berkontribusi sangat besar terhadap persoalan-persoalan di tingkat konsumen. Lalu lintas peredaran barang dan jasa yang diproduksi secara masal (mass productions) dan dengan penggunaan teknologi yang canggih, telah berdampak pada ketidaktahuan konsumen akan setiap produk yang ia konsumsi. Sebagai konsumen, praktis kita tidak (sungguh-sungguh) tahu barang dan/atau jasa yang kita konsumsi itu diproduksi oleh siapa, dimana, dengan bahan apa saja, mengandung bahan berbahaya atau tidak, aman dikonsumsi atau tidak, dst. Singkatnya, ketidaktahuan dan kebergantungan konsumen terhadap pelaku usaha adalah kelemahan mendasar yang pada gilirannya akan menimbulkan kerugian pada konsumen.
Dalam dunia perdagangan dan industri yang terus tumbuh dan berkembang makin kompleks akhir-akhir ini, tampak bahwa posisi dan kedudukan dunia usaha sangat dominan. Para pelaku usaha tidak hanya mampu menguasai kebutuhan pasar, tetapi juga mampu untuk mengambil kebijakan (baca: pemerintah) yang berpihak pada kepentingan mereka.
Dalam kondisi seperti ini, dapat dipastikan posisi dan kedudukan konsumen makin lemah di hadapan pelaku usaha. Harapan konsumen untuk mendapatkan perlindungan dari negara (baca: pemerintah) sering tidak terwujud karena pemerintah seperti tidak siap menghadapi kompleksitas pertumbuhan ekonomi global, meskipun telah banyak regulasi dikeluarkan guna memberi perlindungan terhadap konsumen.
Dominasi kekuatan bisnis tersebut pada akhirnya melahirkan ketidakadilan hukum, ketidakadilan sosial, dan ketidakadilan ekonomi bagi konsumen. Hubungan interdependensi yang semestinya ada antara pelaku usaha dan konsumen dalam hubungan dagang, praktis bergeser ke arah dependensi (kebergantungan) konsumen terhadap dunia usaha. Kekuatan pasar yang sedemikian rupa telah menjadikan nasib konsumen makin terpuruk.
Keterpurukan nasib konsumen “makin lengkap” dengan maraknya praktik-praktik usaha yang tidak sehat/curang (unfair trade practices) dalam berbagai modus dan bentuknya di berbagai sektor atau tahap perniagaan. Berbagai kecurangan (bahkan kejahatan) pelaku usaha sudah dimulai dan dapat terjadi sejak tahap proses produksi, pemasaran, distribusi, sampai dengan tahap konsumsi. Di samping itu lemahnya pengawasan oleh instansi pemerintah atau penegak hukum terkait, berdampak pada tumbuhnya praktik usaha yang unfair tersebut yang akhirnya (pasti) melahirkan kerugian di tingkat konsumen.
Lalu, Bagaimanakah persoalan perlindungan konsumen mesti diatasi dan diselesaikan? Akankah persoalan perlindungan konsumen akan dapat diatasi melalui mekanisme hukum? Jelas jawabnya tidak. Hukum Perlindungan Konsumen tentu tidak mampu menghilangkan semua ketidakadilan pasar, tanpa dibarengi dengan upaya memperbaiki mekanisme pasar itu sendiri.
Kalau sekiranya pendekatan hukum tidak cukup, bagaimana persoalan ketidakadilan pasar hendak diatasi demi perlindungan konsumen? Mungkinkah berharap pada perubahan perilaku pelaku usaha agar dapat berbisnis secara fair dan sehat, dengan mempertimbangkan kepentingan atau hak-hak konsumen? Mampukah pemerintah (termasuk pemerintah daerah) mewujudkan harapan konsumen akan keadaan perlindungan konsumen yang lebih baik? Bagaimana dengan kinerja pengawasan dan penegakan hukum perlindungan konsumen selama ini? Sudahkah menunjukkan hasil yang positif dan signifikan? Ataukah kinerja pemerintah belum optimal? Kenapa demikian?
Serangkaian pertanyaan dan realita persoalan konsumen tersebut di atas mengajak kita untuk mencari terobosan dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program perlindungan konsumen secara lebih komprehensif agar hasilnya dapat lebih optimal.
Adalah fakta bahwa konsumen lemah dalam hal pengetahuan atas produk dan daya tawar. Mereka juga (pada umumnya) lemah atau setidaknya mempunyai keterbatasan dalam mengakses sumber-sumber daya ekonomi guna menopang kehidupan. Kekuatan modal dan pasar telah melemahkan kedudukan konsumen, bahkan untuk melindungi dirinya sendiri. Dengan kata lain, konsumen memang membutuhkan perlindungan dalam arti yang sesungguhnya. Lebih daripada itu, konsumen membutuhkan penguatan dan pemberdayaan untuk dapat (sedikit) meningkatkan daya tawar mereka di hadapan pelaku usaha.
Sehubungan dengan hal tersebut, pada kesempatan ini LKYv(Lembaga Konsumen Yogyakarta) mengusulkan adanya langkah-langkah terobosan yang perlu diimplementasikan agar perlindungan konsumen (setidaknya di Propinsi DIY) menjadi lebih baik. Langkah-langkah ini dapat dikategorikan dalam pertama, fase pengambilan kebijakan (perencanaan program) dan fase implementasi kebijakan (pengawasan dan penegakan hukum); kemudian diikuti dan simultan dengan fase kedua, pemberdayaan kelembagaan perlindungan konsumen dan ketiga, fase pengorganisasian dan pendidikan konsumen.
Fase pengambilan dan implementasi kebijakan di bidang perlindungan konsumen, dalam hal ini LKY berpandangan bahwa isu perlindungan konsumen adalah isu lintas sektoral atau multi dimensional. Dibutuhkan upaya bersama untuk melahirkan program-program perlindungan konsumen yang bersifat komprehensif dan berhasil guna. Diperlukan sarana / forum multi stake-holders di bidang perlindungan konsumen (selanjutnya disebut Forum Perlindungan Konsumen (FPK). FPK ini sekaligus berfungsi untuk membangun koordinasi lintas sektor dan antar instansi guna mengoptimalkan kinerja perlindungan konsumen. Di samping itu FPK juga dapat dipakai sebagai forum perencanaan program/kegiatan perlindungan konsumen yang akan diimplementasikan secara bersama-sama.
Fase Pemberdayaan Kelembagaan Perlindungan Konsumen, Optimalisasi peran institusi dan pusat studi/kajian yang ada di Perguruan Tinggi dapat menjadi terobosan yang signifikan. Begitu juga tak kalah pentingnya melibatkan organisasi/lembaga konsumen dalam berbagai upaya penguatan kapasitas sumber daya manusia di tingkat kelembagaan perlindungan konsumen, sehingga pemahaman yang komprehensif tentang isu perlindungan konsumen dapat diraih. Sehubungan dengan hal itu, konsistensi kebijakan pemerintah dalam menetapkan dan memposisikan pejabat publik terkait dengan kelembagaan perlindungan konsumen harus lebih selektif (the right man on the right place).
Fase Pengorganisasian dan Pendidikan Konsumen, Demikianlah, perlindungan konsumen tidak dapat digantungkan pada niat baik pelaku usaha untuk memberikan dan melindungi hak-hak konsumen. Begitu juga perlindungan konsumen tidak juga akan terwujud hanya dengan menggantungkan pada kinerja aparat dan instansi pemerintah. Bagaimanapun juga konsumen juga dituntut untuk terlibat aktif dan berperan serta dalam memperbaiki kondisi perlindungan konsumen. Oleh karena itu, pemberdayaan konsumen mutlak diperlukan. Konsumen berhak atas pendidikan konsumen, demikian bunyi salah satu butir Pasal 4 UUPK. Kelemahan-kelemahan konsumen harus dijawab dengan berbagai upaya pemberdayaan yang memungkinkan mereka berperan serta aktif dalam memperbaiki kondisi perlindungan konsumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar