Hingga saat
ini, masyarakat Indonesia ternyata masih banyak yang belum memahami mengenai Undang-Undang
(UU) Perlindungan Konsumen. Hal itu disebabkan dari kurangnya sosialisasi yang
dilakukan pemerintah dalam menegakkan UU perlindungan konsumen dan juga
keterbatasan masyarakat untuk mengetahui adanya UU tersebut. Karena banyak masyarakat
yang tidak tahu dan kurang peduli akan UU Perlindungan Konsumen ini akibatnya banyak
masyarakat terutama pelajar yang telah menjadi korban dalam kecurangan para
pelaku usaha akan penggunaan produknya.
Salah satu
kasusnya saja, masyarakat yang keracunan makanan dan minuman yang diproduksi
salah satu pelaku usaha. Itupun sudah banyak terjadi, tetapi selalu saja
hasilnya tidak ditemukan unsur yang berbahaya dan ini salah satu pelanggaran UU
Perlindungan Konsumen yang tidak diketahui oleh masyarakat pada umumnya.
Persoalan
perlindungan konsumen juga tidak dapat dilepaskan dari isu ekonomi pasar
(bebas) yang terjadi selama ini. Liberalisasi perdagangan jelas berkontribusi
sangat besar terhadap persoalan-persoalan di tingkat konsumen. Lalu lintas
peredaran barang dan jasa yang diproduksi secara masal (mass productions) dan
dengan penggunaan teknologi yang canggih, telah berdampak pada ketidaktahuan
konsumen akan setiap produk yang ia konsumsi. Sebagai konsumen, praktis kita
tidak (sungguh-sungguh) tahu barang dan/atau jasa yang kita konsumsi itu
diproduksi oleh siapa, dimana, dengan bahan apa saja, mengandung bahan
berbahaya atau tidak, aman dikonsumsi atau tidak, dst. Singkatnya,
ketidaktahuan dan kebergantungan konsumen terhadap pelaku usaha adalah
kelemahan mendasar yang pada gilirannya akan menimbulkan kerugian pada
konsumen.
Dalam dunia
perdagangan dan industri yang terus tumbuh dan berkembang makin kompleks
akhir-akhir ini, tampak bahwa posisi dan kedudukan dunia usaha sangat dominan. Para
pelaku usaha tidak hanya mampu menguasai kebutuhan pasar, tetapi juga mampu
untuk mengambil kebijakan (baca: pemerintah) yang berpihak pada kepentingan
mereka.
Dalam
kondisi seperti ini, dapat dipastikan posisi dan kedudukan konsumen makin lemah
di hadapan pelaku usaha. Harapan konsumen untuk mendapatkan perlindungan dari
negara (baca: pemerintah) sering tidak terwujud karena pemerintah seperti tidak
siap menghadapi kompleksitas pertumbuhan ekonomi global, meskipun telah banyak
regulasi dikeluarkan guna memberi perlindungan terhadap konsumen.
Dominasi
kekuatan bisnis tersebut pada akhirnya melahirkan ketidakadilan hukum,
ketidakadilan sosial, dan ketidakadilan ekonomi bagi konsumen. Hubungan
interdependensi yang semestinya ada antara pelaku usaha dan konsumen dalam
hubungan dagang, praktis bergeser ke arah dependensi (kebergantungan) konsumen
terhadap dunia usaha. Kekuatan pasar yang sedemikian rupa telah menjadikan
nasib konsumen makin terpuruk.
Keterpurukan
nasib konsumen “makin lengkap” dengan maraknya praktik-praktik usaha yang tidak
sehat/curang (unfair trade practices) dalam berbagai modus dan bentuknya di
berbagai sektor atau tahap perniagaan. Berbagai kecurangan (bahkan kejahatan)
pelaku usaha sudah dimulai dan dapat terjadi sejak tahap proses produksi,
pemasaran, distribusi, sampai dengan tahap konsumsi. Di samping itu lemahnya
pengawasan oleh instansi pemerintah atau penegak hukum terkait, berdampak pada
tumbuhnya praktik usaha yang unfair tersebut yang akhirnya (pasti) melahirkan
kerugian di tingkat konsumen.
Lalu, Bagaimanakah
persoalan perlindungan konsumen mesti diatasi dan diselesaikan? Akankah
persoalan perlindungan konsumen akan dapat diatasi melalui mekanisme hukum?
Jelas jawabnya tidak. Hukum Perlindungan Konsumen tentu tidak mampu
menghilangkan semua ketidakadilan pasar, tanpa dibarengi dengan upaya
memperbaiki mekanisme pasar itu sendiri.
Kalau
sekiranya pendekatan hukum tidak cukup, bagaimana persoalan ketidakadilan pasar
hendak diatasi demi perlindungan konsumen? Mungkinkah berharap pada perubahan
perilaku pelaku usaha agar dapat berbisnis secara fair dan sehat, dengan
mempertimbangkan kepentingan atau hak-hak konsumen? Mampukah pemerintah
(termasuk pemerintah daerah) mewujudkan harapan konsumen akan keadaan
perlindungan konsumen yang lebih baik? Bagaimana dengan kinerja pengawasan dan
penegakan hukum perlindungan konsumen selama ini? Sudahkah menunjukkan hasil
yang positif dan signifikan? Ataukah kinerja pemerintah belum optimal? Kenapa
demikian?
Serangkaian
pertanyaan dan realita persoalan konsumen tersebut di atas mengajak kita untuk
mencari terobosan dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program
perlindungan konsumen secara lebih komprehensif agar hasilnya dapat lebih
optimal.
Adalah fakta bahwa konsumen lemah dalam hal pengetahuan atas produk dan daya tawar. Mereka juga (pada umumnya) lemah atau setidaknya mempunyai keterbatasan dalam mengakses sumber-sumber daya ekonomi guna menopang kehidupan. Kekuatan modal dan pasar telah melemahkan kedudukan konsumen, bahkan untuk melindungi dirinya sendiri. Dengan kata lain, konsumen memang membutuhkan perlindungan dalam arti yang sesungguhnya. Lebih daripada itu, konsumen membutuhkan penguatan dan pemberdayaan untuk dapat (sedikit) meningkatkan daya tawar mereka di hadapan pelaku usaha.
Adalah fakta bahwa konsumen lemah dalam hal pengetahuan atas produk dan daya tawar. Mereka juga (pada umumnya) lemah atau setidaknya mempunyai keterbatasan dalam mengakses sumber-sumber daya ekonomi guna menopang kehidupan. Kekuatan modal dan pasar telah melemahkan kedudukan konsumen, bahkan untuk melindungi dirinya sendiri. Dengan kata lain, konsumen memang membutuhkan perlindungan dalam arti yang sesungguhnya. Lebih daripada itu, konsumen membutuhkan penguatan dan pemberdayaan untuk dapat (sedikit) meningkatkan daya tawar mereka di hadapan pelaku usaha.
Sehubungan
dengan hal tersebut, pada kesempatan ini LKYv(Lembaga Konsumen Yogyakarta)
mengusulkan adanya langkah-langkah terobosan yang perlu diimplementasikan agar
perlindungan konsumen (setidaknya di Propinsi DIY) menjadi lebih baik.
Langkah-langkah ini dapat dikategorikan dalam pertama, fase pengambilan
kebijakan (perencanaan program) dan fase implementasi kebijakan (pengawasan dan
penegakan hukum); kemudian diikuti dan simultan dengan fase kedua, pemberdayaan
kelembagaan perlindungan konsumen dan ketiga, fase pengorganisasian dan pendidikan
konsumen.
Fase
pengambilan dan implementasi kebijakan di bidang perlindungan konsumen, dalam
hal ini LKY berpandangan bahwa isu perlindungan konsumen adalah isu lintas
sektoral atau multi dimensional. Dibutuhkan upaya bersama untuk melahirkan
program-program perlindungan konsumen yang bersifat komprehensif dan berhasil
guna. Diperlukan sarana / forum multi stake-holders di bidang perlindungan
konsumen (selanjutnya disebut Forum Perlindungan Konsumen (FPK). FPK ini
sekaligus berfungsi untuk membangun koordinasi lintas sektor dan antar instansi
guna mengoptimalkan kinerja perlindungan konsumen. Di samping itu FPK juga
dapat dipakai sebagai forum perencanaan program/kegiatan perlindungan konsumen
yang akan diimplementasikan secara bersama-sama.
Fase Pemberdayaan
Kelembagaan Perlindungan Konsumen, Optimalisasi peran institusi dan pusat
studi/kajian yang ada di Perguruan Tinggi dapat menjadi terobosan yang
signifikan. Begitu juga tak kalah pentingnya melibatkan organisasi/lembaga
konsumen dalam berbagai upaya penguatan kapasitas sumber daya manusia di
tingkat kelembagaan perlindungan konsumen, sehingga pemahaman yang komprehensif
tentang isu perlindungan konsumen dapat diraih. Sehubungan dengan hal itu,
konsistensi kebijakan pemerintah dalam menetapkan dan memposisikan pejabat
publik terkait dengan kelembagaan perlindungan konsumen harus lebih selektif
(the right man on the right place).
Fase
Pengorganisasian dan Pendidikan Konsumen, Demikianlah, perlindungan konsumen
tidak dapat digantungkan pada niat baik pelaku usaha untuk memberikan dan
melindungi hak-hak konsumen. Begitu juga perlindungan konsumen tidak juga akan
terwujud hanya dengan menggantungkan pada kinerja aparat dan instansi
pemerintah. Bagaimanapun juga konsumen juga dituntut untuk terlibat aktif dan
berperan serta dalam memperbaiki kondisi perlindungan konsumen. Oleh karena
itu, pemberdayaan konsumen mutlak diperlukan. Konsumen berhak atas pendidikan
konsumen, demikian bunyi salah satu butir Pasal 4 UUPK. Kelemahan-kelemahan
konsumen harus dijawab dengan berbagai upaya pemberdayaan yang memungkinkan
mereka berperan serta aktif dalam memperbaiki kondisi perlindungan konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar